Sunday, January 4, 2009

Pemimpin lurus, menenangkan hati

Lebih dari 15 tahun yang lalu, saat saya dan teman-teman berangkat dari kampus UI untuk mendukung kemerdekaan Palestina. Berkumpul di mesjid Al Azhar. Umat Islam berkumpul tidak membawa bendera partai atau mengagungkan sebuah partai. Setahun sebelumnya, sejuta umat berkumpul di Monas, saya berangkat dengan Pak Agus Komarudin dari BTA, yang malamnya sibuk membuat spanduk-spanduk kecil bertuliskan Al Baqarah 120 ( 2 : 120 ). Saat itu juga umat Islam menggalang dana. Beberapa ulama kondang memberikan banyak petuah. Saat itu ghirah saya bangkit. Perjuangkan Agamamu.

27 Desember, ketika jalur Gaza di bombardir, saya sedang sibuk dengan TeSIS di Subang. Ingatan kemabali terhenyak, kenapa bisa terulang kembali pembataian tersebut. Saat melepas teman-teman yang akan ke afghanistan, di suatu pesantren di wilayah ciputat, saya sedih tak mampu serta. Ketika bosnia bergolak, lagi-lagi hanya melepas kepergian beberapa teman. Dan mereka Syuhada. Poso dan Ambon, makin menjadi-jadi ghirah ini bergolak. Perjuangkan agamamu.

Saya baru sadar ketika Buya Hamka keluar dari Majelis Ulama Indonesia, salah seorang ulama yang menegaskan hatinya, bukan agen pemerintah. Bukan corong pemerintah.

Tulisan ini tidak membicarakan Palestina, Bosnia, Ambon, Poso atau apa pun yang berhubungan dengan hal itu. Saya bercermin terhadap hal ini. Kalau saja pemimpin mengerti akan hakekat kepemimpinanya, maka Alla akan menolongnya. Begitu banyak orang yang berebut jadi pemimpin, tokh akhirnya mati dalam keadaan memperebutkan 'kursi'. Saya teringat ketika membaca sirah sahabat, ketika  salah seorang khalifah yang terpilih berkata," saya hanyalah orang yang terpilih diantara kalian, saya bukan yang terbaik diantara kalian. Jika saya salah, luruskan saya." Seorang sahabat berkata," Saya akan luruskan kamu dengan pedang saya."

Begitu juga ketika seorang khalifah mengirimkan sebuah "hadiah" kepada pemimpin sebuah pasukan. Kahlifah mengirimkan sebuah tulang dengan torehan pedang, sebuah garis lurus. Pemimpin pasukan tersebut sadar, sebuah tulang adalah lambang kematian, dan garis lurus adalah perintah,  harus hidup yang lurus sebagai seoran pemimpin.  Pemimpin yang baik adalah yang disegani karena tegas, bukan ditakuti. Pemimpin yang menggunakan kekuatannya dengan menakuti-nakuti wargannya bahkan dengan kewenanggannya, akan bisa dilihat keruntuhannya.

Namrud dan  Fir'aun adalah dua sosok besar yang ditakuti, tokh jatuh juga. Adolf Hitler juga demikian, Nero yang membakar kota Roma, bahkan George w. Bush terhina ketika sebuah sepatu melayang kewajahnya.  Cobalah simak sebuah cerita kartun tentang presiden Uni Sovyet yang dengan peawat Helikopter membagikan uang dengan menyebarkannya. Warga Uni Sovyet, bukan berebut dengan Rubel tersebut, tapi berteriak, " Mr. Presiden, ayo lopmpat dari Helikopter. Itu Lebih berharga dari uang-uang tersebut."

Jabatan adalah amanat. Tambahan tugas dari Allah untuk kita. Karena Allah akan meminta pertanggung jawaban hal itu. Berepa banyak orang pintar yang menolak jabatan, karena mereka berpikir, untuk menyelamatkan diri mereka saja dari jilatan api neraka jika dibandingkan dengan amall ibadah mereka saja belum cukup. Apalagi harus menanggung "DOSA_DOSA" orang yang teraniaya karena tidak mampu mendapatkan makanan, pegawai yang dimarahi istri-istri mereka, karena gaji tidak mencukupi. Sementara sang pemimpin, hanya dengan bermodalkan jabatannya mampu mengeruk keuntungan. Pemimpin adalah orang yang paling taqwa. Perjuangan mereka di siang hari, harus membuat semua warga yang dipimpinnya berkerja dengan baik, dan malammnya mereka tertidur pulas, karena makanan untuk esok masih ada. Pemimpin di malam hari akan menangis kepada Allah tentang apa yang dilakukannya hari ini. Berapapa maksiat yangd ia lakukan, berapa hak orang lain yang dia ambil, bahkan berapa banyak dia merusak ketenangan hati sehingga orang tidak khusyu' beribadah.

Semua orang takut kehilangan jabatan, karena jabatan identik dengan kemakmuran. Pikir mereka makmur, maka ibadah akan lancar. Padahal kemakmuran adalah cobaan paling ringan buat orang berilmu. Cobaan terberat orang berilmu adalah memberi fatwa yang benar.

Kemakmuran datang dari Allah, bukan dari pemimpin. Indah sekali senyum kita ketika bertemu sang pemimpin. Wangi parfum dan berpakaian indah. Tapi ketika adzan sholat, kita tampil apa adanya. Bahkan tidak setiap saat kita julurkan tangan kita ke kotak amal. Kita lebih takut pemimpin marah.

Jadilah pemimpin yang merupakan kepanjangan tangan-tangan Allah. Menjadi pelindung agar umat masuk surga. Jangan takut kehilangan jabatan, karena jabatan bukan pahala, jabatan adalah cobaan.

Hanya Allah yang benar.

No comments: