Thursday, January 28, 2010

Persoalan UN adalah Cermin Masyarakat Indonesia

abu, 13 Januari 2010 | 10:20 WIB
shutterstock
Ilustrasi: Sebesar apapun tekanan terhadap rencana pelaksanaannya, UN tetap akan dilaksanakan dan diterima masyarakat, kendatipun sebetulnya itu adalah keterpaksaan.
TERKAIT:

* Persiapan UN Kuras Saku Siswa
* Wah... "Facebookers" juga Menolak UN!
* UN Bukan Satu-satunya Penentu Kelulusan

JAKARTA, KOMPAS.com - Semua persoalan terkait penyelanggaraan Ujian Nasional (UN) merupakan cerminan masyarakat Indonesia, yakni sulitnya memberantas budaya korupsi.

Artinya, persoalan UN justeru berpangkal dari sebuah persoalan paling fundamental di negara ini, yaitu korupsi. Persoalan yang tiada habisnya dipermasalahkan tanpa banyak yang bisa dituntaskan.

"Tetapi, kita sebagai pendidik dan pengelola pendidikan harus mengembalikan semuanya pada perjuangan anak-anak didik," ucap Kepala SMA Kolese Kanisius Jakarta, Rm Heru Hendarto, Selasa (12/1/2010).

"Saya sudah protes sana-sini, tetapi seberapa besar sih kekuatannya? Wong, putusan MA pun tidak ada yang diakomodir," tambahnya.

Menanggapi pandangan tersebut, pengamat pendidikan Darmaningtyas bahkan menyayangkan sikap Komisi X DPR RI jika kelak tidak tegas terhadap keteguhan pemerintah menggelar UN. Darmaningtyas beranggapan, banyak anggota Komisi X yang tidak paham akan banyaknya manipulasi di dalam pelaksanaan UN.

"Mereka tidak tahu, bahwa di lapangan itu banyak guru yang heran melihat murid-murid mereka sendiri kok standar nilai UN-nya tinggi sekali, jauh dari nilai hariannya," ujarnya.

Keterpaksaan

Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan Kolese Gonzaga Romo Y. Alis Windu Prasetya mengatakan, sebesar apapun tekanan masyarakat terhadap rencana pelaksanaannya, UN tetap akan dilaksanakan dan diterima, kendatipun sebetulnya itu adalah keterpaksaan.

"Mau tak mau itu akan dilaksanakan, bahkan siswa kami sendiri pun sampai bertanya, untuk apa sebetulnya UN, karena kalau begini terus lebih tidak perlu ada UN," ujar Alis.

Siswa, kata Alis, adalah subyek pendidikan, bukan sebaliknya sebagai obyek, yang akhirnya malah menjadi korban dari pendidikan itu sendiri (kebijakan). Tidak heran, Alis mengaku geleng kepala melihat besarnya anggaran UN dan keluhan orang tua.

"Banyak hamburkan uang, UN itu tidak realistis, ada orang tua yang mengatakan hal semacam itu kepada kami, sebab ada UN berarti keluar tambahan biaya," ujarnya.

Lebih dari itu, kata Alis, pelaksanaan kebijakan UN yang selama ini menjadi penentu kelulusan pun sebetulnya kian menjauhkan apa yang disebutnya dengan otonomi sekolah.

"Itu omong kosong, kurikulum KTSP itu mestinya sesuai dengan otonomi sekolah, nyatanya?" tambah Alis.

Kiranya, apapun yang terjadi nanti di UN, sudah saatnya semua pihak saat ini berjuang demi anak-anak didik dengan cara-cara yang bermatabat. Yaitu, menjunjung tinggi kejujuran sebagai hal utama, demi masa depan anak didik.

No comments: