Wednesday, April 14, 2010

Tiap Pribadi Unik Sekali

Tiap Pribadi Unik Sekali

Tentunya teman-teman pernah mendengar cerita tentang seorang nenek tua yang menangis di sebuah surau, karena dia tidak bisa lagi menyapu membersihkan halamana mesjid, karena pohon dekat mesjid ditebang sang marbot, atau cerita seorang teman yang membantu teman dengan menyelipkan uang di tas, saat temannya tertidur, atau seorang tamu Allah yang selalu meletakkan uang di bawah tikar/sajadah mesjid sehabis sholat dzuhur. Kisah ini mungkin agak berbeda.

Ikhwan, pria kurus kering, hitam legam terbakar matahari, adalah seorang pemuda yang selalu tertidur di pojok belakang mesjid. Sehabis mengantar Koran pagi hari, bahkan tepatnya subuh hari, Ikhwan selalu mampir ke mesjid, menukar waktunya dengan berjual beli kepada Allah.
Saat usianya beranjak 7 tahun, kedua orang tuanya meninggal dunia. Kebakaran di kampung Bulak telah menelan semua keluarga dan tetangganya. Maklumlah rumah petakan, belakan pasar Klender Jakarta Timur. Mulailah Ikhwan hidup sebatang kara. Pak Haji Badri pemilik salah satu kios di Jatinegara-lah yang menyelamatkan Ikhwan dari kesendirian hidup.
Sudah hampi sepuluh tahun Ikhwan menjadi marbot tambahan, di mesjid tua Jatinegara Kaum. Sehabis sholat subuh, ikhawn akan mengayu sepedanya menuju pasar Sunan Giri untuk mengambil Koran pagi. Ikhwan akan menyusuri jalan-jalan bernama ikan di Rawamangu. Hingga pukul 7, keringat akan menemani pagi yang selalu memberi harapan. Ikhwan belajar menabung seperti yang diajarkan oleh Pak Haji.
Pak Haji Badri menabung dari kecil, hingga mampu mempunyai kios seperti sekarang ini. “Menabung untuk masa depanmu.” Itulah kalimat yang selalu dia dengar. Ikhwan telah melakukannya hamper 10 tahun. Setiap hari, sehabis mengantar Koran, dia selalu menabung.
Dua hari ini Ikhwan terserang flu, lumayan berat. Tetapi denga tekad yang kuat dia tetap melakukan sholat malam, dzikir hingga subuh pagi itu. Saat pak Haji Badri menyampaikan Kuliah Subuh, Ikhwan masih tegar duduk dengan kopiah tua dan sarung yang tidak pernah tersetrika. Tetapi tetap bersih karena selalu dicuci olehnya sendiri. Hampir 30 menit Kuliah Subuh diberikan. Setelah selesai, semua jamaah saling bersalaman, berpelukan dan mendoakan untuk kebaikan hari ini dan esok. Semua jamaah telah berdiri dan berputar bersalaman,.... kecuali seorang jamaah. Ikhwan. Dia masih terduduk dengan kepala tertunduk ke depan, jemarinya masih memegang untaian tasbih. Beberapa kali panggilan dari pak Haji Badri dan jemaah lain, tidak membuatnya terbangun. Khawatir tertidur pulas, Pak Haji Badri mendekatinya dan duduk di sebelah Ikhwan. Pak Haji lama terdiam, dan terdengar tangis kecil seorang muslim tangguh. Jamaah lain tersadar telah terjadi sesuatu. Pak Haji masih memegang tangan yang telah berubah dingin. Ikhwan telah pergi menghadap sang Khalik.

Pagi itu pun berubah, mesjid menjadi ramai oleh kesibukan para jamaah untuk menguburkan Ikhwan. Dengan seijin Kepala DKM, ruang marbot tempat lemari Ikhwan berada dibuka, untuk mengetahui mungkin ada hal-hal yang dipesankan oleh almarhum, atau mungkin masalah hutang piutang yang belum terbayarkan. Pak Haji Badri telah menyatakan akan membayar semua hutang Ikhwan kepada siapa pun. Saat lemari terbuka, terlihat beberapa pakaian, dengan beberapa buku dan kitab kuning. Pak Haji sempat kaget dengan jumlah pakaian yang ada. Tidak mampu membeli atau memang tidak mau membeli.

Terliha ada tumpukan amplop, yang tertutup rapi. Ada kalimat di setiap bagian depan amplop. Untuk Bu Ijah, penjual gado-gado di Pasar Waru. Untuk Pak Karyo, petugas kebersihan. Untuk Pak Alim, marbot mesjid. Untuk Dik Seno, siswa SD Negeri 12 Rawamangun. Dan lain-lain. Jumlah amplop tersebut hampir 50 buah. Pak Haji Badri kebingungan, ”Apa Ikhwan banyak hutang ?”. Pak Haji meminta warga lain, untuk mencari pemilik amplop-amplop tersebut. Sehingga hak orang-orang itu sampai.
Jam 09.00, berkumpulah ke 50 orang tersebut. Pak Haji menyampaikan ucapan terima kasih atas kehadiran mereka, serta memohon maaf atas ketidaknyamanan hari ini. Terutama atas kelakuan Ikhwan. Para warga yang 50 orang tersebut bingung, Ikhwan itu siapa dan ada apa mereka dikumpulkan ? Karena suasana gaduh akhirnya pak Haji Badri menjelaskan duduk perkaranya. Dan semua warga melihat jenazah Ikhwan yang belum dikebumikan karena menunggu proses hutang piutang itu selesai. Warga makin bingung. Apalagi setelah pak Haji Badri membagikan Amplop. Pak Haji menjelaskan, ” Amplop ini pesannan almarhum untuk bapak ibu, mungkin hutan atau apa. Saya hanya menyampaikan.” Pak Haji menjelaskan hal tersebut sambil membuka penutup mayat. Semua warga terkaget dan berdesah , ” si tukang koran.”
Karena merasa makin bingung, warga membuka amplop tersebut. ”Assalamu’alaikum : Mohon maaf sebelumnya atas kesalahan saya. Terima kasih ibu, yang telah memberikan saya air minum. Pagi ini, selasa 12 januari 1998. Semoga uang ini dapat menebus air yang saya minum.”
”Assalamu’alaikum : Mohon maaf sebelumnya atas kesalahan saya. Terima kasih bapak marbot, yang telah membangunkan saya untuk sholat subuh. Subuh, Minggu 18 januari 1998. Semoga uang ini dapat bapak terima sebagai ucapan terima kasih saya.”
”Assalamu’alaikum : Mohon maaf sebelumnya atas kesalahan saya. Terima kasih Pak Karyo, yang telah membantu saya saat terjatuh dari sepeda di Jalan Gurame. Senin, 16 February 1998. Semoga uang ini dapat bapak terima sebagai ucapan terima kasih saya.” Dan seterusnya, seterusnya....
Pak Haji Badri menangis sejadi-jadinya. Ikhwan telah melakukan pelajaran yang diberiaknnya melebih apa yang dipikirkannya. Pak Haji menabung bertahun-tahun hanya menadapatkan kios, sementara Ikhwan menabung bukan untuk mendapatkan kios,... dia membangun rumah di surga. Membayar semua kebaikan orang di bumi. Bukan membayar hutang di akherat, yang akhirnya hanya akan terbayarkan oleh amal kebaikan kita. Ikhwan menabung di Bank Allah. Janji Allah pasti.

No comments: