Monday, December 8, 2008

Belajar dari kasih sayang

Sehabis pertandingan bola piala Asia, saya bergegas kembali ke Mesjid. Malam Takbiran selalalu menjadi malam pengaduan saya kepada Allah SWT. Tak banyak permintaan yang saya mohon untuk tahun ini, bahkan jauh berkurang dari tahun-tahun sebelumnya. Entahlah, tapi bukan karena Allah tidak mengabulkan dan saya marah kepadaNya sehingga tak mau berdoa atas permintaan yang sama. Semua itu saya sadari terlalu tinggi buat saya, takutnya godaan juga sedemikian kuat. Yang pasti doa ampunan untuk Bapak dan Ibu, doa kesehatan untuk ibu dan keluaraga, rahmat dan ampunan untuk keluarga dan teman-teman saya.

Doa saya tahun ini lebih kepada, agar Allah membukakan mata hati saya terhadap semua kejadian dan diberikan kekuatan kepada saya untuk melakukan yang terbaik dihadapanNya. Diantara gema takbir, tahmid, dan tasbih tentunya hati semakiin sejuk merapalkan doa-doa tersebut. Linangan air mata dalam keteduhan hati dan limpahan rahmat malam takbir membuat saya semakin tenang merapalkan doa-doa. Terkenang semua kebaikan bapak dan ibu semasa saya kecil, semasa saya remaja bahkan sampai usia kini. Wajah ibu yang selalu menemani doa-doa saya, karena ibu pun dalam keheningan malam terdengar selalu mendoakan kebaikan untuk saya. Kalimatnya lirih dan penuh harap, saya terkadang tidak sanggup mendengarnya. Diksi ibu memang tidak seindah doa-doa para ulama, tetapi ibu punya kekuatan yang tak dimiliki orang lain. Beliau lebih memilih sejadah yang beliau beli dari uang pensiun bapak, ketimbang yang saya berikan. Agar ibu bisa mengenang bapak, itu ujar beliau suatu saat.

Hampir setiap malam, dipenghujung malam saya selalu mencuri dengar apa doa-doa beliau. Saya makin sayang sama ibu. Maafkan semua kesalahan saya bu.

Saat saya mengakhiri sholat malam, saya lihat sekeliling ruang mesjid masih ada teman-teman yang masih sibuk mempersiapkan kegiatan esok. Saya sudah tidak semuda usia  mereka, dengan langkah perlahan saya turun dari mesjid menuju ke rumah. Malam yang cukup sejuk, warna langit yang pucat serta kumandang takbir yang mulai melemah dari beberapa musholla menemani langkah-langkah kecil.

Sesampai di rumah, saya menggelar alas tidur. Dari kelas 2 SMA saya terbiasa tidur di lantai dengan bertemankan tikar pandan dan sejenisnya. Kasur empuk, ehehehehhee sesuatu yang amat mahal. Biasanya kalau berpergian keluar kota, baru bisa menikmati yang namanya kasur. Setelah semua siap, saya coba rebahkan badan, berusaha berdoa dan melepaskan semua persoalan hari ini. Belum sampai terpejam mata ini, tiba-tiba masuk keponakan saya, usianya baru 4 tahun. Memang rumah saya dan ibu berdampingan dan ada pintu yang selalu terbuka diantara dua rumah tersebut. "Pak De, dede mau tidur ama pak De." Dengan tersenyum, saya bergeser ke samping. Keponakan saya, Amira mulai tertidur pulas. Saya cukup bahagia, karena ada tambahan nama yang saya berikan pada anak itu, Artanti ( Anak Narto dan Hendarti ).

Keponakan saya sudah terpulaskan. Saya bangun dan melihatnya. Yaa Allah indah sekali anak kecil tidur, anak yang tanpa dosa ini membuat saya berpikir, tenang sekali anak ini tertidur. Napasnya sedemikian teratur, saya coba mengusap keningnya yang basah oleh keringat. Bahagia sekali menjaganya tetap tertidur. Saya malah meneteskan air mata, karena teringat sedemikian lama, ibu menjaga saya tidur saat kecil, bahkan menemani saya saat sakit. Saat menuliskan artikel ini pun saya masih bisa merasakan detik demi detik menemani sang keponakan.

Saya bangkit dari tikar dan menuju kamar ibu yang memang tidak pernah ditutup atau dikunci. Saya lihat ibu pun tertidur. Yaa Allah saya ingin sekali menjaga beliau, mengusap keringat yang mungkin timbul, atau mungkin mengusir nyamuk yang akan mengganggu tidurnya. Entah berapa lama saya perhatikan ibu tertidur dengan pulas. Ijinkan saya yaa Allah dapat menjaga ibu saya untuk tetap tertidur pulas. Ibu terbangun oleh kokokkan si ayam Jago. Dan sempat kaget melihat saya ada di sisi beliau sedang mencium tangan beliau. "Kenapa, kok disini ? Sana ambil wudhu, masih bisa sholat malam khan." Saya cium pipi beliau, dan berlalu untuk mengambil l wudhu kembali.

Saya kembali ke kamar, meneruskan sholat malam dengan bertemankan sang keponakan yang masih tertidur pulas. Terdengar ibu sedang berdoa, lagi-lagi saya mencuri dengar doa-doa tersebut. Saya sayang ibu.

Ibu banyak memberi, bahkan saat usia beliau mendekati angka 80. Tak pernah beliau meminta uang dari saya, beliau menggunakan uang pensiun bapak untuk hidup sehari-hari. Bagi ibu rejekinya ada di pensiun tersebut, dan gaji anak adalah untuk menghidupi anak dan istri. Allah pun tidak pernah meminta kepada kita, tetapi kita lah yang selalu banyak kekurangan dan selalu meminta lebih. Bahkan boleh jadi kita belum siap untuk menerimanya.

Hari ini saya belajar dari kasih sayang ibu, dan tentunya kebutuhan akan kasih sayang sang keponakan. Saya berharap dapat dan mampu menjadi guru yang baik, sehingga saya berpikir bahwa seharusnya kita membangun semua hal dengan kasih sayang, bukan dengan kekerasan.

No comments: