Monday, February 2, 2009

Sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku

Tiga jam di ruang Bimbingan Konseling terdiam, seakan lupa mau menuliskan sesuatu. Tepat jam 11.00 Wib, turun dari ruang BK, mencari makanan. Akhirnya dapat, mie pangsit depan pintu gerbang sekolah. Padahal kalau ingat nasehat bu Dokter, “jangan sering-sering mengkonsumsi mie, kurang baik untuk kesehatan.” Satu porsi dengan bakso saya santap di ruang piket dalam hitungan menit. Lapar sih, hehehehehe. Sepanjang perjalanan ke ruang BK, mulailah tersirat apa yang harus dituliskan. Allah memberi kekuatan saya kembali. Ternyata dengan mengingat cerita teman-teman guru saat di Pusdiklat lah baru terpikirkan mau menulis apa. Setiap hari adalah pembelajaran, setiap hari adalah ladang pahala, setiap hari adalah ibadah, karena kita tidak tahu kapan Allah akan memanggil kita. Jangan sampai kita meninggal dalam keaadaan kurang baik. Setiap shalat kita pasti mengucapkan judul di atas, entah karena terlalu sering diucapkan, seharusnya kita makin paham, nyatanya hidup kita justru makin menjauh dari hal tersebut. Ayat tersebut terdapat di surat 6 : 162-163. Allah sengaja meletakkan ayat tersebut untuk kita baca saat shalat (walau pun ada ayat lain penggantinya) maknanya, kita diingatkan Allah bahwa “Shalat (sebagai kata pertama) adalah kewajiban yang waktunya terbatas tetapi amat penting sebagai kewajiban manusia, walau pun pelaksanaannya amat singkat. Berkisar 5 – 15 menit. Bandingkan dengan waktu hidup kita yang 24 jam x 60 menit x 60 detik. Shalat adalah bagian dari ibadah, karena ibadah itu banyak macam dan waktunya bisa amat panjang, tetapi belum tentu semua ibadah itu kewajiban, ada ibadah yang sunnah untuk dikerjakan. Jadi “ibadah” sebagai kata kedua pada ayat tersebut, mempunyai rentang waktu yang amat luas, 24 jam, berhari-hari, bahkan berbulan dan betahun-tahun. Karena bukan seperti shalat yang akan diperiksa pertama kali saat di akherat kelak, ibadah hanyalah untuk orang yang mampu. Kalau sholat, hanya untuk orang beriman dan itu kewajiban. Sementara kata yang ketiga adalah “hidupku”, ini lebih luas lagi. Bayangkan dari saat kita dilahirkan hingga sekarang. Untuk saya, 60 detik x 60 menit x 24 jam x 30 hari x 12 bulan dan kali 40 tahun, ternyata panjang juga hidup saya. Justru dibagian inilah manusia mempunyai peranan lebih kea rah kepentingan hidup dirinya. Apakah shalat dan ibadahnya mampu mengalahkan makna hidupnya. Baguslah kalau shalatnya, ibadahnya dan hidupnya dipersiapkan untuk kata yang keempat. Matiku. Kenyataan menunjukkan pada bagian ketiga inilah manusia menjadi makhluk yang sesungguhnya. Apakah dia menjadi berkarakter seperti Malaikat yang beribadah, menjadi Iblis yang menghalangi manusia berbuat baik, atau malah menjadi keduanya yaitu manusia berhati iblis. Untuk hal ini hanya dirinya dan Allah semata yang tahu. Kata ketiga, yaitu “matiku”, merupakan hal yang disembunyikan Allah. Ada manusia yang sudah koma berbulan-bulan, menjadi hidup karena takdir Allah memang belum berlaku. Ada juga orang yang hidupnya selalu bertemankan dengan bahya dan kematian, malah hidup sampai tua. Saya pernah terhenyak, pada tahun 1995 saat mendengar seorang siswa meninggal saat shalat subuh, dalam keadaan sujud. Subhanallah. Makna, bersiaplah untuk mati kapan pun, saya ulangi kapan pun, dimana pun dan dalam kondisi apa pun. Tentunya hal ini menyadarkan untuk tetap berbuat baik. Karena semua yang kita lakukan kalimat terakhirnya adalah Li llahi rabbil ‘alamin. Hanya untuk Allah. Hanya untuk Allah dan hanya untuk Allah. Dua tahun ini saya sering terbangun malam oleh dering telpon siswa atau bahkan orang tua, untuk mengingatkan shalat tahajjud. “Assalmu’alaikum. Pak Wangsa maaf mengganggu. Apa bapak sudah shalat tahajjud ?.” Marahkah saya ? Tidak. Tengah malam dibangun siswa atau ortu untuk “meningkatkan kualitas hidup” kenapa harus marah ? Jadilah malam-malam hidup ini tahajjud bersama dengan siswa, walau tempat yang berbeda, berdoa bersama untuk para siswa demi keberhasilannya di ujian. Justru harus disyukuri masih ada orang yang mengingatkan kita, dan ini adalah ladang pahala. Untuk ibadah kepada Allah, kapan pun akan kita kerjakan. Saat seorang teman, tertunduk lesuh karena tak mampu memenuhi panggilan atasannya, hingga tekanan sedemikian kuat, jangan sampai shalat dan ibadahnya kepada Allah terganggu. Boleh jadi saat shalat malah terbayang ketidak mampuannya menginguti perintah sang bos. Kalau sampai demikian terjadi, seseorang terpaksa 24 jam memenuhi panggilan si bos, maka bos tersebut boleh jadi telah menjadi ila, ila yang lain. Tahun 1986 saat itu saya baru belajar tentang taddabur al Qur’an. Buku Kuliah Tauhid menjadi buku wajibb mahasiswa ITB, ada juga JDL (jundullah), ada Makna Syahadat, pokonya banyak buku-buku islami, ada Sayd Quthb, Hasan Al Banna, Said Hawa, membahas pilar-pilar syahadatain. Ila diartikan, sebagai sesuatu yang menyebakan makhluk sedemikian menyembah hal tersebut, atau hidunya didominir oleh hal itu. Oleh karenanya dalam Islam, tidak ada ila kecuali Allah. Jadi kalau ada menjadi sesuatu yang mungkin menjadi panutan, yang mungkin membuat orang takut karena jabatan anda, yang mungkin hayat hidup orang ada di tangan anda, berhentilah menjadi ila. Hanya Allah yang boleh mendominir hidup orang setiap detik, selama hidupnya. Jika ada makhluk yang sedemikian takutnya kepada anda, sehingga dia rela melakukan apa pun untuk anda, bahkan mungkin akan lebih keras demi menyelamatkan anda di dunia, pada dasarnya anda telah menjadi ila, buat orang-orang itu. Ingat ada kata keempat, kematian. Tetap menjadui rahasia, akan datang kapan pun, dimana pun dengan kondisi apa pun. Saat itu datang hanya shalat, ibadah dan hidup yang beriman menjadi pahala penolong anda di hadapan Allah. Maha Suci Allah yang telah membawa kita dari Kegelapan menuju Cahaya. Minna Dzulumati Illa Nnur. Ruang BK, 30 Januari 2009. Menghitung hari, menakar janji, mengharapkan keridhoan Illahi Rabbi.

No comments: