Wednesday, June 2, 2010

Seri : Mengenang Guru-guruku, Guru SD Cidurian 05 Petang ( Pak Sutiman Suprayogi, 30 tahun yang lalu)

Mengenang guru-guru SD Cidurian 05 Petang ( Pak Sutiman Suprayogi )

Di hari senin minggu terakhir buan April 2002, saya sempatkan untuk bertandang ke SD tercinta. Sebuah SD dibilangan Cikini, tepatnya SD Cidurian 05 Petang, komplek peserekolah dasar warga kecamatan Menteng pinggir. Menteng yang lain biasanya akan mengambil SD Besuki, SDArgentina, atai SD Cilacapnya Barack Obama. Tahun 1976 saat saya diantar ibu untuk mendaftar, bertemu dengan seorang pria kurus dengan rambut berombak lebat, mennatang kumisnya yang juga ”baplang” kata orang betawi. Namanya Pak Sutiman Suprayogi. Sebuah nama yang akan selalu saya kenang, seorang guru yang memberi cinta dan kasih ketika saya dihukum karena kenakalan teman-teman sekelas. ” Ini perbuatan siapa, nak ?”. Saya terdiam seribu bahasa, tidak mampu melihat mata beliau yang saya yakin akan tergenang oleh butiran air bening pancaran kegundahan hati. Saya tahu beliau bukan orang yang menghukum dengan berdiri di kelas dengan kaki terangkat satu dan satu tangan menunjuk ke langit-langi kelas, sementara yang satu sibuk menjewer telingan sendiri. Beliau adalah orang yang berdiskusi saat kita salah, atau khilaf karena ketidak tahuan.
Saya patut malu, semua keluarga saya terdidik oleh beliau. Delapan keluarga saya adalah lulusan SD Cidurian 05 Petang. Wajarlah mereka menegnal seklai didikan orang tua saya yang amat keras. Ujung pensil yang runcing adalah santapan paha kiri jika tidak mampu berkonsentrasi dalama mengerjakan soal. Telapak tangan yang akan terbuka menerima pukulan pengaris panjang, guru sekolah, guru ngaji bahkan Bapak di rumah. Saya malu kalau Bapak sepulang dari KOMDAK ( Polda Metro Jaya, nama pada saat itu) jika tahu saya mengecewakan guru di sekolah.
Setelah berpikir cukup lama, dengan keringat ketakutan, saya berusaha memandang wajah pak Sutiman Suprayogi, saya terperanggah. Beliau tersenyum, memegang kedua pundak saya dengan jalinan kasih. ” Ayo, nak. Bapak yakin kamu dapat menjelaskannya.” Seakan mendappatkan angin segar, kucuran kalimat yang dingin itu membuat kekuatan pada lidah dan bibir ini. ”Salah saya, Pak. Sebagai ketua kelas saya tidak memperingatkan teman-teman melakukan hal itu. Hukumlah saya, pak. Karena tidak berfungsi dengan sebenarnya.” Beliau makin melebarkan senyumnya. ”Anakku, mulai hari ini hingga 4 hari ke depan, kamu wajib merapihkan perpustakaan sekolah di depan ruang kepala sekolah. Saya minta harus rapih dan bersih.” Saya bahagia karena dihukum merapihkan tata letak buku dan ruangan 3 x 4 sebuah perpustakaan mini milik sekolah. ”Iya, pak. Saya terima hukuman tersebut.”
Setahun kemuadian saya terpilih sebagai siswa dengan peminjaman buku perpustakaan terbanyak untuk seluruh siswa pada komplek SD tersebut. Sayalah yang mengusulkan majalah intisari masuk ke ruang perpustakaan SD. Intisari adalah salah satu nmajalah ilmiah yang saya kenal mulai kelas 3 SD, dan Bapak selalu mengajak saya untuk membeli majalah Intisari bekas di sepanjang jalan kKramat Raya dari Bioskop Rivoli hingga Senen. Saya mendapatkan hukuman yang justru membuat saya tergila-gila akan buku, majalah EPPO, Intisari, cerpen Anita, koran Kompas dan Sinar Harapan, hingga Komik silat Djair, Api di Bukit Menoreh, Sabuk Sosro Naga Geni, bahakan cerita sastra Nh. Dini, Hamka dan lain-lain.
Terima kasih yaaa Bapakkuu,... cerita ini adalah salah satu bagian dari kehidupan saya yang tercatat di buku harian,... semoga tetap ada pahala buat para guru yang mengajarkan ilmu yang bermanfaat. Amin

No comments: