Monday, April 27, 2009

Konversi Ujian Nasioanal 2009 ? Mungkinkah ?

Sebelum menilai ujian nasional 2009 yang telah dilaksnakan beberapa waktu yang lalu, kita simak dulu beberapa tulisan mengenai Konversi Ujian Nasional pada tahun 2004.

Batalkan Konversi Nilai UAN!
(http://groups.yahoo.com/group/kuyasipil/message/9418) Oleh Peter B Sihombing

PENGUMUMAN hasil UAN SMA/MA telah dilaksanakan. Pengumuman lulus dan tidak lulus tentu berdasarkan Nilai Ujian Nasional atau NUN Pusat yang telah diterima sekolah dan NUN sekolah. Ternyata NUN Pusat yang diterima oleh sekolah bukanlah nilai murni, tetapi berdasarkan Tabel Konversi yang dikeluarkan oleh Puspendik Balitbang Depdiknas yang berlaku secara nasional.

Tabel tersebut menunjukkan kejanggalan. Pertama, batas lulus 4,01 yang ditetapkan oleh Depdiknas seharusnya mencerminkan bahwa siswa menjawab $> 40,01 persen jumlah soal benar. Ternyata jumlah itu jauh di bawahnya. Untuk Bahasa Inggris jurusan IPA/IPS siswa cukup menjawab 16,67 persen soal benar nilainya 4,09; Matematika dijawab 25 persen benar nilainya 4,01, Ekonomi dijawab 24,44 persen nilainya 4,01. Kedua, bila jawaban benar lebih dari 50 persen, nilainya dikurangi. Artinya bila jumlah jawaban benar $<> 50 persen nilainya dikurangi.

Ini sungguh aneh. Apa maksud dan tujuan Tabel Konversi (TK) tersebut? Inikah "Subsidi Silang"? Yang pintar harus "membodohkan diri" agar si bodoh tampak pintar? Apa jasa mereka yang berkemampuan kurang sehingga diberi hadiah berlimpah? Apa salah dan dosa mereka yang pintar sehingga hak-hak mereka dirampas?
--------------------------------------------------------------------------------------------------
Nah sekarang saya tidak akan menilai kejadian tahun 2004, yang dengan nyata-nyata Depdiknas membuat konversi UAN. Pada tahun itu banyak siswa yang protes karena nilai "perjuangan" mereka dikebiri oleh aturan tersebut. Tetapu Konversi UAN yang dilakukan saat itu justru membahagiakan semua pihak. Pendidikan dapat dinyatakan berhasil. Sebuah pembodohan dalam pendidikan.

Hampit tiap tahun Nilai kelulusan dinaikkan untuk "menaikkkan citra" bangsa dari 3,25 hingga sekarang ini yang mencapai 5,5. Banyak kalangan yang masih menolak adanya Ujian Nasional, mereka tentunya punya dasar :

  1. Mutu pendidikan tiap daerah belum sama, secara SDM dan Sarana dan Prasarana

  2. Kelulusan hanya ditentukan oleh beberapa hari dan oleh beberapa mata pelajaran

  3. UU sidiknas meyatakan yang berhak menilai siswa adalah guru yang mengajar


Dalam tulisan ini saya tidak akan mengaitkan hal ini, tetapi lebih kepada aspek perkembangan pendidikan anak/ siswa. Kondisi siswa 3 tahun belakangan ini amat berbeda dengantahun 2004. Kompetisi antar sekolah sedemikian kuat, sehingga ada sekolah-sekolah yang melaksaakn Ujian Nasional dengan membentuk TIM SUKSES. Sampai UN 2009 pun masih terjadi di beberapa daerah. Kepala sekolah mana yang mau dianggap gagal ? Apa pun akan dilakukan untuk menolong para siswa.
Fakta berikutnya : 1. Ujian Masuk Perguruan Tinggi yang maju waktunya, 2. SKL yang terlambat, 3. Try Out Bersama Dinas, 4. Soal UN "Sulit". Empat hal perlu kita telaah satu persatu.
Ujian masuk perguruan tinggi, sebuah kondisi yang membuat siswa kehilangan konsentrasi. Tahun ini tidak seperti tahun lalu, 4 perguruan tinggi negeri ternama mengadakan ujian masuk hampir bersamaan, dalam hitungan 30 hari. Bayangkan awal bulan maret hingga april 2009 menjadi bulan-bulan terpanas bagi siswa kelas XII. Ujian yang hampir bersamaan ini mendoorng siswa untuk meninggalkan sekolah, lebih berkonsentrasi menghadapi ujian PT. Bimbingan belajar lebih ramai dibandingkan sekolah. Akhirnya para guru pun "menyetujui" kondisi itu.
Standar Kompetensi Lulusan, diberikan kepada siswa agar siswa mampu mengetahui apa saja yang akan diujikan. Tetapi SKL baru diberikan mendekati semester ganjil berakhir, sehingga para siswa menjadi sedikit shock, lari lah mereka ke toko buku untuk mencari buku-buku instan. Buku sistem kebut semalam, cara cepat menjawab soal, cara singkat lulus UN semakin laris dibeli siswa. Lagi-lagi ada kesalahan. Tiga tahun belajar, akhirnya menggunakan model praktis yang tidak pernah dilakukan para pendidikan mana pun.
Try out bersama dinas, dimaksudkan untuk mengukur kemampuan para siswa dengan lebih terukur daripada denga menggunakan soal masing-masing sekolah. Buat sekolah-sekolah papan tengah atau bawah, yang gurunya malas membuat soal hal ini banyak membantu. Tetapi terkadang yang terjadi jusru variasi soal Try Out Bersama jelek sekali, pengulangan soal, pengulangan kesalahan, bahkan soal-soal yang belum ter"garap" dengan baik muncul juga. Amat disayangkan. Seharusnya Bank Soal berfungsi. Soal-soal Control GT ( gunting tempel) masih terjadi, hehehehe.
Dan akhirnya terjadi, soal Ujian Nasional Matematika dianggap "SULIT". Hal ini juga terjadi pada tahun 2008, dimana soal kimia saat itu jauh dari SKL. Bayangkan soal lebih banyak berupa soal-soal praktikum. Bayangkan untuk sekolah-sekolah yang siswanya belum pernah praktikum sekali pun, wah parahhhhhh.

Dengan kondisi itu semua, terjadilah :

  • Kode naskah di beberapa sekolah diganti karena terdengar ada bocoran. Yang pasti untuk Fisika tahun ini amat BOCOR. Di Bandung, sebuah release di BBC London menyatakan bahwa jawaban bocoran benar-benar 100%.

  • Mendikanas mengelurakan pernyataan,"Oknum yang melakukan kecurangan UN akan mendapat hukuman Ganda"

  • Padahal Gubernur DKI yakin sekali UN 2009 tanpa kebocoran

  • Medan, jawaban bocoran dihargai Rp. 100.000. Murah banget.


Yang paling mengangetkan adalah berpindahnya lokasi pemeriksaan Lembar Jawaban Ujian Nasional. Entah kenapa tahun ini diserahkan kepada IKIP/UNJ. Tentunya ada banyak pertimbangan. Selain UNJ adalah tempat mencetak calon-calon Guru, diyakini mereka akan lebih mengerti akan Ujian Nasional. Walau pun natinya eksekusi nilai semuanya akan diserahkan ke Depdiknas. Minimal ada data nilai mentah dari IKIP/UNJ. Kita berharap IKIP/UNJ mampu mengerjakan tugasnya tanpa ada tekanan dari pihak manapun sehingga nilainya "MURNI".

Entah kenapa saya malah berpikir terbalik, dengan semua kondisi ini. Opsi Nilai Konversi akan terjadi lagi. Naiknya standar kelulusan, kurangnya kesiapan siswa mengahadapi UN, keinginan semua PEMDA agar Prosentase Kelulusan Naik dan sebagainya akan memaksa Depdiknas akan mengkonversi Nilai Ujian. Tingga dimana konversi itu terjadi di tempat pemeriksaan atau di lembaga penentu kebijakan.

Akan banyak kepala sekolah yang bertandang ke IKIP/UNJ untuk sekedar melihat proses penilain Ujian Nasional. Rasanya kita bisa menebak. Hampir semua guru pernah mengenyak pendidikan di sana.

Semoga saja hal ini tidak terjadi. Karena di tahun 2010, Nilai Ujian Nasional direncanakan sebagai standarmasuk ke Perguruan Tinggi Negeri, dengan menghilangkan Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Tertulis. Tulisan ini bermaksud untuk saling mengingatkan.

No comments: