Thursday, August 26, 2010

Kekuatan cinta sang guru

Written by Rizal Dharma S., Guru Sosial SDIT NF

Monday, 17 May 2010 10:03

Cinta. Kata yang dilahirkan dengan beragam makna. Banyak definisi, karena kata tersebut memang memiliki beragam interpretasi. Cinta memiliki kelaziman, bahwa mencintai siapapun dan apapun akan berbuah loyalitas terhadap apa yang dicintainya.

Jika cinta kita tujukan terhadap Allah, maka akan lahir sebuah pengabdian yang luar biasa. Menempatkan sang Maha Kuasa diatas segalanya. Namun jika cinta kita tujukan terhadap selain Allah, maka cinta kita terhadap siapapun dan apapun adalah cinta yang akan menambah kecintaan kita terhadap Allah SWT.

Menjadi seorang guru membutuhkan kekuatan cinta. Tak cukup berbekal kemampuan akademis dan paedagogis semata, karena tantangan yang dihadapi saat mengajar memang luar biasa jika harus diukur secara kualitas dan kuantitas. Semua pasti sudah memahami, semua orang yang terlibat dan memiliki profesi sebagai guru pasti telah memiliki cinta untuk profesinya. Namun terkadang, cinta itu harus diuji saat berhadapan dengan berbagai tantangan yang harus dihadapi, dan tentunya yang tersulit ketika menghadapi anak yang belum tergali potensinya ditambah selimut malas melekat pada dirinya. Cinta guru dipertaruhkan pada profesinya, menghadapi tantangan yang luar biasa sulitnya akan membiaskan niatnya ketika memutuskan menjadi seorang guru.

Jika kita menengok sejarah jauh kebelakang, maka kita akan mendapati bagaimana kekuatan cinta yang lahir dari seseorang mampu membuat sesuatu yang hampir tidak mungkin secara logika menjadi mungkin terjadi. Selalu membekas dalam ingatan kita, bagiamana Rasulullah selalu memberi makan dengan cara yang berbeda untuk seorang pengemis yahudi buta, padahal balasan yang Rasul terima ialah cacian.

Hari itu di sudut pasar kota Madinah ada seorang pengemis yahudi buta yang selalu berkata kepada orang-orang, “Jangan dekati Muhammad! Jauhi dia! Jauhi dia! Dia orang gila. Dia itu penyihir. Jika kalian mendekatinya maka kalian akan terpengaruh olehnya.”

Tak ada seorang pun yang lewat melainkan telah mendengarkan ocehannya tersebut. Begitu pula pada seseorang yang selalu menemuinya setiap hari di sana, memberinya makanan, hingga menyuapinya. Pengemis buta itu selalu menghina dan merendahkan Muhammad, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, di hadapan orang yang menyuapinya itu. Tapi orang itu hanya diam, terus menyuapi pengemis buta itu hingga makanannya habis.

Hingga akhirnya beberapa saat kemudian Rasulullah wafat. Kesedihan menaungi hati para sahabatnya. Suasana duka pun berlangsung amat lama bagi mereka. Seseorang yang begitu mereka cintai, mereka segani, dan begitu mereka taati telah pergi dari sisi mereka.

Hari-hari mereka lewati begitu berat tanpa Rasulullah. Mereka akan selalu mengenang kebersamaan mereka dengan beliau semasa hidupnya. Mereka tidak akan pernah melupakannya.

Begitulah yang tengah terjadi pada diri Abu Bakar Ash Shiddiq, seorang sahabat beliau yang mulia. Dia tidak akan pernah bisa melupakan kenangan bersama Rasulullah. Justru dia dengan semangat menjalankan ibadah-ibadah sunnah yang dahulu sering dilakukan Rasulullah, tentu saja di samping ibadah-ibadah yang wajib.

Suatu hari, dia pernah bertanya kepada Aisyah, putrinya, “Wahai, putriku, apakah ada amalan yang sering dilakukan Rasulullah yang belum pernah kulakukan?”

“Ya, ada, Ayah,” jawab Aisyah.

“Apa itu?” tanya Abu Bakar lagi dengan penuh rasa penasaran.

Aisyah pun mulai bercerita.

Keesokan harinya, Abu Bakar berniat menunaikan amalan itu. Dia pergi menuju sudut pasar Madinah dengan membawa sebungkus makanan. Kemudian dia berhenti di depan seorang pengemis buta yang tengah sibuk memperingatkan orang-orang untuk menjauhi Muhammad. Betapa hancur hati Abu Bakar menyaksikan aksi pengemis itu yang begitu lancang menghina Rasulullah di hadapan banyak orang. Tapi dia mencoba untuk bersabar.

Abu Bakar lalu membuka bungkusan makanan yang dibawanya dari rumah. Kemudian dia mengajak pengemis itu duduk dan langsung menyuapi pengemis itu dengan tangannya.

“Kau bukan orang yang biasa memberiku makanan,” kata si pengemis buta dengan nada menghardik.

Aku orang yang biasa,” kata Abu Bakar.

“Tidak. Kau bukan orang yang biasa ke sini untuk memberiku makanan. Apabila dia yang datang, maka tak susah tangan ini memegang dan tak susah mulutku mengunyah. Dia selalu menghaluskan terlebih dahulu makanan yang akan disuapinya ke mulutku.” Begitulah bantahan si pengemis buta.

Abu Bakar tak bisa membendung rasa harunya. Air matanya menetes tak tertahankan. Dia kemudian berkata, “Ya, benar. Aku memang bukan orang yang biasa ke sini untuk memberimu makanan. Aku adalah salah satu sahabatnya. Orang yang dulu biasa ke sini itu telah wafat.”

Abu Bakar melanjutkan perkataannya. “Tahukah kau siapa orang yang dulu biasa ke sini untuk memberimu makanan? Dia adalah Muhammad, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Orang yang selalu kau hina di depan orang banyak.”

Betapa terkejutnya pengemis Yahudi yang buta itu. Dia tak dapat berkata apa-apa. Air matanya perlahan berlinang membasahi kedua pipinya. Dia baru sadar betapa hinanya dirinya yang telah memperlakukan Rasulullah seperti itu. Padahal beliau telah berbaik hati memberinya makanan setiap hari.

“Benarkah itu?” tanya si pengemis buta setelah lama merenungi apa yang telah terjadi. “Selama ini aku telah menghinanya, memfitnahnya, bahkan di hadapannya. Tapi dia tidak pernah memarahiku. Dia sabar menghadapiku dengan berbagai macam ocehanku dan berbaik hati melumatkan makanan yang dibawanya untukku. Dia begitu mulia.” Tangisnya semakin menjadi.

Pada saat itu juga, di hadapan Abu Bakar Ash Shiddiq, pengemis Yahudi buta itu menyatakan ke-Islamannya.

Jika kita telisik, Rasulullah telah mengajarkan kita. Kelaziman cinta yang diberikan terhadap manusia adalah simpati yang buahnya adalah dakwah. Hasilnya : seorang pengemis yang awalnya sangat benci tehadap Muhammad berbalik pada detik berikutnya menyatakan diri ingin mengikuti agama Muhammad SAW. Sekali lagi cinta membuktikan kelaziman, cinta Muhammad berbalas cinta sang pengemis buta. Apabila cinta Muhammad adalah simpati yang buahnya adalah dakwah, maka cinta sang pengemis buta terhadap Muhammad adalah kemesraan yang buahnya adalah mengikuti Muhammad.

Meminjam sedikit kutipan dari novel ketika cinta bertasbih, maka akan kita dapati bahwa cinta itu adalah kekuatan yang mampu mengubah duri menjadi mawar, mengubah cuka menjadi anggur, hinngga akhirnya mengubah musibah menjadi muhibah. Tapi Qudamah punya pendapatnya sendiri, menurutnya cinta mengubah seorang pengecut menjadi pemberani, yang pelit jadi dermawan, yang malas jadi rajin, yang pesimis jadi optimis, yang kasar jadi lembut.

Maka, jika guru memiliki cinta dalam dirinya, pada detik itu pula ia akan mampu merubah murid yang malas menjadi rajin, murid yang belum tergali potensinya menjadi pintar, murid yang belum disiplin menjadi disiplin, dan murid yang sangat tergantung hidupnya menjadi murid yang mandiri.

No comments: