Thursday, September 24, 2009

Salah Kaprah Internasionalisasi Kampus

Tiga perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia, yaitu Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Gadjah Mada (UGM), baru saja mendapat kucuran dana segar dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti), Depdiknas, masing-masing sebesar Rp 70 miliar. Dana segar itu bagian dari komitmen pemerintah untuk mendongkrak agar ketiganya menjadi perguruan tinggi kelas dunia.UPAYA itu tidak sia-sia. Berdasarkan pemeringkatan yang diselenggarakan Times Higher Education (Thes), baik ITB, UI, maupun UGM termasuk jajaran 500 perguruan tinggi (PT) kelas dunia, bahkan masuk 100 besar dalam level Asia.

Karuan saja manajemen ketiga PTN itu makin bersemangat untuk melengkapi berbagai kekurangannya selama ini. Respon positif pun terus berdatangan. Semua itu menunjukkan, PT domestik sebenarnya bisa bersaing di level regional bahkan global.

Menjadi PT kelas dunia, yang disebut Dikti sebagai ’’internasionalisasi kampus’’, jelas bukan pekerjaan mudah. Di tengah persaingan global, masuk peringat dunia menjadi impian banyak PT.
Bahkan perguruan tinggi di negara-negara maju terus membenahi diri, agar selalu memenangi persaingan.

Karena itu, hampir dalam setiap pemeringkatan dunia, kampus-kampus di negara maju seperti Eropa, AS, dan Jepang selalu berada di urutan atas.

Semangat menggebu dari segenap pengelola kampus untuk bersaing memperebutkan tiket sebagai global university menarik dicermati. Bukan saja terkait dengan visi-misinya, tetapi juga dampak ikutan dari ’’proyek’’ tersebut terhadap proses belajar-mengajar.

Urusan terakhir inilah yang seolah kurang mendapat tempat. Padahal justru dalam fase ini, kualitas lulusan PT domestik yang hingga kini belum meningkat signifikan mestinya dapat lebih ditonjolkan.
Keganjilan
Geliat internasionalisasi kampus memang positif. Tetapi jika tidak diimbangi kesiapan software pendidikan tinggi, justru akan memicu terjadinya gap yang menganga. Di sinilah muncul banyak keganjilan dalam internasionalisasi kampus. Jika dicermati, sedikitnya ada tiga kesalahkaprahan dalam program internasionalisasi kampus.

Pertama, lembaga penilai belum komprehensif. Di tingkat dunia, Thes adalah pemeringkatan parsial yang derajat penilaiannya paling rendah. Thes hanya menonjolkan kesediaan hardware pendidikan tinggi seperti bangunan, sarana laboratorium, jumlah dosen, dan jurnal ilmiah.

Padahal masih ada lembaga pemeringkatan yang lebih komprehensif, seperti Shang Hai Jiao Tong (China) dan Webometrics. Shang Hai Jiao Tong adalah pemeringkatan yang paling komprehensif, sekaligus paling ketat, dalam skoringnya..

Berdasarkan hasil pengukuran terakhir (2008), tak satu pun PT di Indonesia yang masuk kategori lembaga ini. Sebab sudut pandang pemeringkatan lebih didasarkan pada mutu lulusan, proses belajar-
mengajar, serta daya inovasi iptek dari PT bersangkutan terhadap inovasi kebudayaan dan produk peradaban berskala dunia (The Japan Times, 26/5/09).

Upaya Dikti menggelontorkan dana yang tak sedikit itu mestinya diarahkan untuk pemeringkatan pada tataran yang paling ketat, dan bukan mengambil pemeringkatan pada tataran rendah.

Apalagi dalam pemeringkatan Thes, Dikti hanya mengikutkan PTN saja, belum merata ke PTS-PTS. Sayang sekali kalau uang negara digunakan hanya untuk lip service, tetapi jauh dari problem dasar pada kampus di Indonesia selama ini.

Kedua, program internasionalisasi kampus justru meninggalkan kekayaan khazanah lokal dan kearifan lokal. Internasionalisasi bukan berarti semuanya serbaglobal, sehingga meninggalkan khazanah lokal / regional. Misalnya penggunaan bahasa akademik yang semuanya seragam: bahasa Inggris.

Unesco sudah mematenkan 12 bahasa internasional sebagai bahasa dunia. Tetapi hampir semua PT dengan kelas/kampus berskala global selalu berbahasa Inggris. Internasionalisasi kampus seperti ini justru mengampanyekan potensi luar dan meninggalkan potensi domestik / lokal.
Kompetensi
Ketiga, software pendidikan tinggi justru ditinggalkan. Menurut Prof Haruka Sato, pakar pendidikan tinggi dari Keio University Jepang, software pendidikan tinggi berskala global adalah seperangkat kurikulum dan sistem pendidikan yang langsung mengkait dengan urusan kompetensi peserta didik.

Dari sinilah sebenarnya hakikat dan makna pendidikan tinggi itu berawal. Artinya, percuma mengejar pemeringkatan kelas dunia, jika kompetensi peserta didik dalam skala lokal saja masih diragukan. Terbukti dari kian sedikitnya peluang dan pencapaian kerja setelah lulus.

Di Jepang, PT justru berlomba melakukan inovasi pembelajaran sehingga 90 persen lulusannya bisa tertampung ke dalam pasar kerja dan banyak diantaranya yang berhasil memimpin industri Jepang yang tersebar di seluruh dunia.

Padahal penduduk Jepang dikenal memiliki kemampuan berbahasa Inggris terendah di dunia. Namun daya kreasi warganya yang luar biasa bisa menjadikan Jepang menjadi ’’panutan’’ dalam pendidikan di tingkat global.

Karena itu, kelas global di Jepang justru bukan didominasi perguruan tinggi dengan English based (pemakaian bahasa Inggris untuk kelas internasional) , tapi justru Japanese based (penggunaan bahasa Jepang dalam pergaulan akademik tingkat dunia).

Kementerian Pendidikan Jepang bahkan mewajibkan siapapun yang kuliah di negerinya harus belajar dulu bahasa Jepang. Semua itu difasilitasi pemerintah dan dapat diakses gratis oleh mahasiswa asing. Kebijakan itu kini juga ditiru Jerman, Belanda, dan Prancis.

Harus difahami, internasionalisasi kampus bukan berarti menghilangkan atau meninggalkan kearifan lokal, menggunakan satu bahasa akademik (Inggris), serta mengejar pemeringkatan dan label sertifikasi seremonial.

Sebelum salah kaprah itu berakibat fatal bagi masa depan pendidikan tinggi dan masa depan anak bangsa, pemerintah (melalui Dikti) bersama semua stakeholders pendidikan tinggi di Tanah Air perlu mendesain ulang dengan menebalkan rasa keindonesiaan.

Semangat menggebu untuk menginternasionalis asi kampus dapat dirancang dengan sesuai kekhasan dan khazanah lokal, kemudian dikemas secara apik menjadi daya saing dalam skala global.

Dengan demikian, kelas kampus global benar-benar mengangkat harkat dan marabat kekayaan khazanah bangsa Indonesia di mata dunia. (Tasroh SS, mahasiswa tugas belajar S2 di Jepang-32)

sumber: http://suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailb...

No comments: