Friday, May 7, 2010

Kepentingan membutakan hati, atau martabat yang menutup nurani

Beberapa hari terakhir di SMA NEGERI 8 memang terjadi kesibukan yang menganggetkan. Kegiatan PPDB RSBI yang baru pertama kali diadakan, dengan sistem penerimaaan yang baru, dengan sosialisasi yang kurang dari dinas kepada para orang tua di tingkat SMP, rentang waktu yang dekat, dan akhirnya memang keterbatasan SDM dan kemampuan pra sarana.

Penggunaan IT dalam pendfataran sekolah telah menjadi lumrah setelag PSB Onine diberlakukan lebih dari 5 tahun yang lalu.Masyarakat menjadi terbiasa dengan OL. Walau saat awal pun sistem PSB Online sempat bermasalah. Waktu dan kematanganlah yang membuat sistem semakin baik.

PPDB RSBI menggunakan juga IT. Kemampuian jaringan atau pun server amat dipetaruhkan. Termasuk sistem tentunya. Disaat kebutuhan sedemikian mendesak, tekan semakin meninggi, jika terjadi sesuatu, maka akibat nya adalah kepada para pelaksana. Saat sistem overload, hang, maka seribu kebingungan akan membuat cacian-cacian ringan.

Beberapa guru dan petugas keamanan sekolah mendapatkan hal tersebut. Seleksi berkas hanyalah bicara penyerahan berkas, jadi panitia yang baik akan mengingatkan kelengkapan berkas. Saking emosinya seseorang bisa marah sekali, padahal diingatkan. "Kata anak saya ini sudah komplit !". "Maaf bu, menurut kami belum komplit." Setelah bersitegang beberapa saat Ibu itu, dengan kacamata hitamnya, "... halo,... ini gurunya nggak mau terima berkas,...gimana sish... kan rumah jauh,... capek deh...".
Padahal sang guru hanya mengingatkan bahwa berkasnya belum komplit, jika dimasukan juga ke panitia, maka akan "GAGAL". Tapi bukan tidak mau terima,... belum komplit deh...

Hari berikutnya. Setelah pengumuman hasil seleksi berkas. Saatnya mengambil kartu ujian, dengan syarat : bawa lembar penyerahan berkas. Panitia berharap proses ini tidak akan lama, jadi lembar penyerahan berkas adalah syarat mutlak. Pagi hari banyak orang tua sudah mengantri di pintu gerbang sekolah. Diingtakan untuk, menuliskan ruang ujian di lembar penyerahan berkas, agar proses hanya akan memakan waktu kurang dari 10 menit.

Pintu gerbang yang dijaga guru dan petugas keamanan berusaha memberikan arahan. Tetap saja ada orang tua yang tidak membawa. Saat diingatkan, dia menegrti sekali, terlihat dari angguikan yang pasti. Tapi ada yang lucu. Dia perintahkan anaknya untuk masuk langsung ke meja nomor. Padahal dia tahu hal itu tidak mungkin. Seorang anak diajarkan orang tuanya untuk melanggar aturan, hanya karena mereka enggan pulang balik ke arah Kramat Jati. Sebuah penanaman bibit penolakan aturan kepada anaknya.

Hari berikutnya : saat Ujian Mandiri. Kesibukan hari itu SMA Negeri 8 makin tinggi, sekitar 800 orang tua dengan mobil berhasil membuat kemacetan parahblan dari Kampung Melayu, Kuningan, Casablanka, Tongtek, hingga Slamet Riyadi. Berbagai mobil dari harga 100 juta hingga lipatan angka tersebut. Mestinya kemampanan hidup juga dibarengi dengan kedewasaan berpikir dan bertindak. Saking pentingnya mengantar anak, seorang ayah dnegan asesories yang amat mencolok, menggunakan celana hawai,.... saya ulangi: celana hawaiiiii, datang ke SMAN 8. Sebegtu bahagia dan indahnya hingga tidak sadar, bahwa SMAN 8 bukan WC umum atau pantai Kuta. Anaknya bahagia sekali, sementara sebagaian besar ibu-ibu senyum-senyum. Lagi-lagi kita salah menilai, pastinya kita salah meletakakan pondasi dasar berpikir seorang anak.

No comments: